Tuesday, June 23, 2009

Kusyuk Dalam Ramai Pasar

Udara pagi terasa dingin menusuk kulit hingga saya terbangun dari tidur yang lama dalam gerbong ketiga dari belakang menuju Stasiun Jakarta Kota. Kota Jakarta pagi itu berkabut, terlihat dari jendela kereta. Minggu (21/06), Stasiun Jakarta Kota, Sekitar Pukul 06.03, terlihat hanya lalu lalang pedagang kursi kayu rotan, seorang Ibu bersama anaknya membawa sepedanya kedalam gerbong kereta dan buruh buruh berseragam. Terbilang sepi dibandingkan hari kerja biasa.
Tepatnya kawasan perbelanjaan, Glodok. Disitu terdapat daerah bernama Petak Sembilan, sebuah kawasan masyarakat Tionghoa tertua di daerah Jakarta Utara. Kawasan tersebut sangat didominasi oleh orang keturunan Tionghoa yang telah sekian lama menempati daerah tersebut. Mayoritas beragama Buddha dan terdapat banyak Vihara.
Dikarenakan ketidaktahuan saya akan daerah tersebut. Maka saya bertanya tanya kepada beberapa orang di sekitar stasiun dan glodok. Berjalan melihat beberapa pedagang yang baru akan membuka lapak dagangannya, terlalu sepi. Daerah tersebut yang saya tahu adalah kawasan penjual stiker atau gambar tempel grosiran. Saya pernah beberapa kali singgahi tempat itu.
Tanya saya kepada seorang pria paruh baya, “Kalau Petak sembilan sebelah mana?”, “Ini sudah daerah Petak Sembilan”, Jawabnya. Yang terlihat sekitar hanya kegiatan jual beli, bertemunya pedagang dan pembeli. Pasar, ya!. Rasa penasaran akan Vihara yang mengamanatkan saya dan teman teman untuk berkunjung dan mengabadikannya melalui sebuah foto. Pagi itu pukul 06.25 Wib, ramai sudah teman teman saya berkumpul dan memulai melakukan aktivitas, yaitu foto.
Tulisan Vihara Dharma Bakti terpampang besar setelah melalui pasar. Vihara dengan tiga pintu utama. Kegiatan sembahyang di Dharma Sala sudah dimulai sebelum jauh saya sampai ditempat. Bagi umat Buddha, sembahyang ada beberapa cara, yaitu sebelum tidur dan bangun tidur. Sebelum dan setelah makan, sekurang kurangnya ke vihara tiap hari upostha untuk sembahyang pribadi, berdoa bersama, kebaktian baca sutra, matra, puasa agama buddha mahayana atau vegetarian.
Seorang kakek mengenggam dupa yang terbakar dan seorang pembersih klenteng menyisihkan dupa yang sudah penuh pada tungku depan. Asap pembakaran mengepul didalam vihara. Dupa atau Hio adalah Persembahan kepada hyang Buddha dan bodhisttva sebagai sikap ketulusan, kebesaran yang dapat menbimbing umat kemajuan, ketentraman, kebijaksanaan, mengundang datang para dewa, naga, asura, yaksa, gandharva, sekaligus menciptakan suasana hikmat, sakral. Dupa juga melambangkan jasa dan kebajikan, perbuatan baik tanpa pamrih, akan berbuah pahala berlimpah bagai asap dupa yang menyebar kemana mana. Masing masing Dewa akan disembah secara bergiliran. Dalam agama Buddha, Dewa salah satu makhluk yang tidak setara dengan manusia. Memiliki kesaktian, hidup panjang, tetapi tidak abadi.
Kekusyukan jemaah yang sedang sembahyang tidak terganggu oleh saya dan teman teman yang sedang mengabadikannya melalui media kamera. Lalu lalang jemaah yang datang, membakar dupa, berdoa kepada Hyang Buddha dan para Dewa. Terbagi 3 ruangan didalamnya. 2 diantaranya ruangan terbuka. Terdapat Samadhi Koka atau Tempat Semedi, Dharma loka atau disebut tempat kotbah dan Dharma Prasadha adalah tempat sembahyang dan berkotbah. Benda yang sangat paling saya ingat adalah lilin yang terbakar leboh dari 10 buah, begitu besar.
“Kok diam, nggak lanjutkan fotonya?”, tanya seorang kakek kepada saya sambil menepuk bahu saya. Sungguh mereka tidak merasa risih, tak dihormati atau apapun. Sepertinya kita tidak terlihat, menganggap tidak ada atau apalah itu. Yang pasti mereka sangat welcome´dengan orang disekitarnya, sangat santun. Memerhatikan kita seperti layaknya para jemaah yang akan bersembahyang. Diluar vihara pun ramai, disinggahi oleh beberapa orang pengemis yang telah menjadikan tempatnya mencari nafkah. (put)